Oleh: Saiful Huda Ems.
JAKARTA – liputanterkini.co.id | Sering orang tidak mengetahui bahwa kekalahan Ahok di Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu, tidak terlepas dari faktor skenario politik Jokowi, yang tidak menghendaki Ahok menjadi figur politisi cemerlang dan terhebat di masa itu.
Bagi Jokowi ketika itu, Ahok merupakan figur politisi yang banyak digandrungi rakyat karena ide-idenya yang cemerlang dan banyak trobosan-trobosan untuk menata kota, serta karena keberaniannya menghadapi para mafia Indonesia yang terpusat di Jakarta.
Maka Ahok bagi Jokowi merupakan figur yang berpotensi untuk menjadi rival politik terberatnya di kontestasi PILPRES 2019. Olehnya, melalui operasi khusus (Opsus) dan sangat rahasia, Jokowi ketika itu menggunakan tangan-tangan tersembunyinya untuk menjatuhkan Ahok, yang puncaknya melalui pergerakan Aksi 212 di Monas.
Sudah beberapa kali saya mengatakan hal yang seperti itu dalam opini-opini politik saya yang terdahulu, selama beberapa tahun terakhir, namun nampaknya masih banyak orang yang tidak terlalu mempercayainya, bahkan ada yang menganggap itu hal yang mustahil.
Padahal saya dahulu –beberapa hari setelah Aksi 212 itu terjadi–, sudah menyampaikan pengamatan saya itu pada keluarga Ahok dan sahabat terdekatnya. Karena sangat aneh sekali disaat saya waktu itu melawan habis-habisan kubu 212, kok orang-orang istana malah meminta saya menulis opini yang menyudutkan Ahok. Sangat tidak logis bukan?.
Jokowi itu Megaloman kampungan, kalau ada orang yang berpotensi membuyarkan mimpi berkuasanya akan ia singkirkan. Ahok merupakan contoh orang yang dianggap sebagai penghalang mimpi, ambisi berkuasanya, karena itu Ahok ketika itu harus segera disingkirkan oleh Jokowi.
Sekarang tak lama lagi Jakarta akan mengadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, partai-partai politik sudah siap mengusung Cagub/Cawagubnya, hanya PDIP yang terkesan masih sangat berhati-hati untuk segera memutuskan Cagub/Cawagub yang akan diusungnya.
PDIP sungguh menderita akibat dikhianati Jokowi sejak pilgub DKI. Dampaknya, hegemoni PDIP di Jabar dan Banten lenyap. Bahkan PDIP menjadi musuh bersama di Aceh, Sumbar dan NTB yang dikenal sebagai kantong Islam . Apakah Jokowi berbuat sesuatu? Tidak.
Ahok dibiarkan meringkuk di penjara tanpa advokasi Jokowi. Persoalan inilah yang menyebabkan mengapa PDIP harus berhati-hati untuk memutuskan siapa Cagub/Cawagub yang akan diusungnya. Apalagi saat ini bukan hanya Jokowi masih berkuasa, melainkan juga KIM Plus sudah berdiri serempak ingin menghalau Cagub/Cawagub yang akan diorbitkan oleh PDIP.
Lalu siapa Cagub/Cawagub ideal yang sebaiknya diusung oleh PDIP untuk langkah antisipasi mengcounter serangan politik Jokowi dan KIM Plus ini? Disini berlaku hukum, siapa yang ditakuti Jokowi menjadi kawan PDIP.
Dalam konteks ini saya menduga bahwa sekiranya Anies Baswedan dan Rano Karno ini adalah perlawanan terhadap gerakan anti konstitusi, anti demokrasi dan anti meritokrasi, yakni perlawanan terhadap Jokowi.
Kenapa harus Anies? Itu karena defacto, Anies memiliki masa pendukung yang sangat banyak dan militan di Jakarta, dan masa Anies itulah yang dahulu dipergunakan oleh Jokowi untuk menghajar Ahok.
Maka tidak ada salahnya jika kali ini Ibu Megawati Soekarnoputri menempatkan Anies pada posisi di tengah, setia pada jalan ideologi, dan dengan nafas pemikiran para pendiri bangsa, digalanglah Anies untuk berhadapan dengan benteng-benteng kekuasaan Jokowi.
Jadi bagi Ahokers jangan mau diadu domba istana sebagaimana terjadi antara PKB dan NU, atau apa yang terjadi dengan Golkar dan partai lain yang tidak berkutik terhadap Jokowi. Ini bukan antara Anies dan Ahok. Ini persoalan kita semua berhadapan dengan ambisi kekuasaan Jokowi.
Karena itulah saya menegaskan, Ibu Megawati dan PDIP nya tidak perlu khawatir kalau masa PDIP bubar jika PDIP mendukung Anies, karena masa PDIP adalah masa yang solid dan sudah tercerahkan, serta memiliki daya juang yang sangat heroik dan militan. Dan yang memang mempunyai kemampuan membedakan antara strategi dan taktik serta kemampuan membuat adaptive policy yang tinggi.
Jika masa PDIP menyatu dengan masa pendukungnya Anies yang oleh PKB sudah digeser ke tengah, Anies sudah kembali ke tengah karena jasa PKB. Karena itulah bertemunya Anies dan PDIP menjadi sejarah baru bersatunya kaum pergerakan melawan kemapanan kekuasaan.
Gerakan ini sangat dahsyat dan akan memiliki daya dobrak yang sangat spektakuler untuk menghadapi pergerakan Jokowi dan KIM Plus termasuk perubahan UU POLRI.
Demikian pula Rano Karno yang bukan hanya masuk di jajaran artis ternama dan senior, juga budayawan yang kompeten di bidangnya, Rano Karno juga merupakan sosok politisi yang kaya pengalaman menjadi pemimpin daerah serta memiliki pengaruh banyak di kalangan warga Jakarta. Ingat Rano berpengalaman sebagai Wakil Gubernur, Gubernur dan Anggota DPR RI.
Memadukan Rano Karno bersama Anies, berarti sama halnya memberikan Palu Godam untuk diadu dengan Ridwan Kamil dan Suswono yang lebih dekat perumpamaannya dengan palu kecil, yang biasa digunakan oleh Tukang Kayu untuk memalu paku kecil.
Memang bukan semata kemenangan yang harus diraih dan diutamakan oleh PDIP, melainkan kehormatan demi tegaknya nilai-nilai juang ideologis PDIP dalam pertarungan kontestasi PILKADA Jakarta.
Akan tetapi jika PDIP tidak mencalonkan Anies dan Rano Karno, menurut hemat pikiran saya, PDIP hanya akan menjadi Banteng yang akan banyak mengalami luka diterkam Hiena Hiena lapar dan buas yang dikeluakan dari kandang istana !.
Jadi ingat: yang PDIP lawan kali ini adalah Monster Istana ! Sapere aude !…(SHE).
26 Agustus 2024.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pemerhati Politik.