BIREUEN – liputanterkini.co.id | Pakar Hukum Tata Negara Dr. Teuku Rasyidin, S.H.,M.H yang juga Dekan Fakultas Hukum dan Syari’ah Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI), turut mencermati persoalan 4 pulau di Aceh yang masih menjadi perbincangan hangat.
Menurut penjelasan Teuku Rasyidin, Riwayat konflik aceh seharusnya menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan terhadap 4 pulau di Aceh yaitu, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Panjang masuk dalam wilayah Tapanuli Tengah, Provinsi Sumut.
Pendiri LSM SURA ini dalam keteranganya kepada LiputanTerkini.co.id Selasa (29/8/2023) menjelaskan, Keputusan tersebut ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 100.1.1-6117 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan pulau. keputusan tersebut dapat memicu konflik kembali sehingga dapat menganggu perdamaian di Aceh. Oleh karena itu, kita berharap kepada pemerintah pusat untuk segera mengembalikan 4 pulau tersebut kepangkuan Aceh, jika tidak dikembalikan, dikhawatirkan kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah Pusat akan rapuh kembali.
Sebut Teuku Rasyidin, jika menelusuri sejarah Pemberontakan DI/TII di Aceh disebabkan oleh ketidakpuasan rakyat Aceh terhadap kebijakan pemerintah pusat. Pada Ketika itu, Pemerintah pusat memutuskan Daerah Aceh menjadi bagian dari Sumatra Utara. kala itu peleburan Aceh dalam Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1950 telah memicu kemarahan rakyat Aceh kepada pemerintah Pusat. Akhirnya, terjadi Pemberontakan DI/TII di Aceh. setelah mengalami masa damai, Aceh kembali bergejolak setelah Dr.tengku Hasan di Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh yaitu pada 4 Desember 1976 dan berakhir dengan perjanjian damai pasca Tsunami Aceh.
Masih menurut dirinya,
Secara sosiologis salah satu penyebab konflik tersebut adalah kekecewaan rakyat Aceh atas eksploitasi sumber daya alam di Aceh tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat Aceh. Selain itu ada alasan secara historis yuridis yaitu permasalahan status Aceh dalam NKRI, namun aceh dan pemerintah pusat sudah sepakat untuk menjaga keseimbangan dalam NKRI melalui kesepakatan damai pada tgl 15 agustus 2005 di Helsinki, Firlandia. Dalam konteks ini, pengambilan keputusan terhadap 4 pulau Kemendagri telah mendobrak nilai filosofis MoU Helsinki dan UU PA. Padahal butir-butir MoU Helsinki merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah pusat dan Gerakan Aceh Merdeka(GAM) bermaksud mengakhiri konflik di Aceh.
Masih menurut Teuku Rasyidin, Komitmen tersebut dibangun dengan susah payah dan menghabiskan banyak energi dalam rangka mencapai kepercayaan.
peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Aceh seharusnya dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan status 4 pulau tersebut.
Dirinya menegaskan, jika pemerintah pusat bermaksud lain dan punya pertimbangan lain terhadap Aceh, silahkan saja. asal jangan mengabaikan pertimbangan fakta sejarah tersebut, Semoga potensi konflik Aceh dan pusat tidak terulang kembali dan perdamaian yang telah terjalin dapat berlanjut.**
(Sya)