BATANG – liputanterkini.co.id | Di sebelah utara desa Silurah, Wonotunggal, Batang Jawa Tengah, terdapat sebuah bukit yang disebut Gunung Ragakusuma dengan hutan larangannya yang legendaris. Sepintas, bukit ini tampak biasa-biasa saja. Namun jika dilihat secara cermat, tampak lebih rimbun dibanding lahan di sekitarnya.
Di kawasan ini masih terjaga dengan baik sebagai ikon dan sumber kearifan lokal. Di kaki Gunung Ragakusuma terdapat hutan bambu yang dikenal dengan sebutan Dapuran Larangan. Disebut demikian karena adanya aturan tidak tertulis atau pantangan bahwa warga dilarang menebang pohon bambu untuk kepentingan pribadi. Siapa yang melanggar pantangan ini akan mendapat atau “hukuman gaib” yang tidak diinginkan.
Menurut legenda setempat, di Gunung Ragakusuma pada zaman dahulu terdapat tanaman rotan gaib yang batangnya menghubungkan Gunung Ragakususma dengan Gunung Slamet. Tidak jelas sejak kapan cerita itu muncul di Silurah. Warga mengenal cerita tersebut secara turun-temurun.
Dalam persepsi modern, cerita semacam itu dianggap absurd namun diakui mengandung pesan-pesan moral yang ditanamkan dari generasi ke generasi, yaitu pentingnya menjaga hubungan baik dengan alam semesta dengan tidak merusaknya. Larangan menebang bambu untuk kepentingan pribadi bisa dipersepsikan sebagai cara orang zaman dahulu menjaga aset negara agar tidak dijarah seenaknya untuk kepentingan individu. Pelanggaran terhadap pantangan ini mengakibatkan rusaknya keharmonisan alam.
Dalam konteks dunia modern, pantangan tersebut dapat dimaknai sebagai pesan antikorupsi, dimana sebuah aset negara apapun bentuknya tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Kawasan hutan bambu merupakan simbol penjaga gunung yang tidak boleh diusik. Jika rumpun bambu ditebang sembarangan maka aset negara akan habis dan akibatnya keselarasan hidup bermasyarakat akan terganggu. Hanya saja, cara penyampaian sebuah pesan disesuikan dengan kondisi masyarakat setempat.
Boleh jadi karena situasi masyarakat masih didominasi pola pikir mistis, maka pesan moral disampaikan mengikti alur penalaran dan kepercayaan masyarakat saat itu, dimana sebuah gunung atau tempat angker lainnya dipercaya memiliki kekuatan supranatural yang tidak boleh diganggu. Dari latar belakang tersebut, warga Silurah masih menjaga nilai-nilai tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Ada dua jenis tradisi yang sampai saat ini masih melekat pada masyarakat Silurah. Pertama, tradisi yang berkaitan dengan kepercayaan seperti ritual Ruwat Bumi dan Ruwat Nyukur Gembel, serta Baritan. Kedua, warga Silurah juga masih tradisi yang berkaitan dengan sosial-kemasyarakatan seperti gotong-royong dalam membangun rumah, mengadakan hajatan dan menjaga lingkungan melalui kerigan atau kerja bakti.
Ruwat Bumi Tradisi Sedekah Bumi atau Ruwatan dilakukan setahun dua kali setiap bulan Legeno dan Jumadilawal. Ditinjau dari aspek sosial-budaya, hajatan ini merupakan sebuah ekspresi kegembiraan warga atas melimpahnya berbagai hasil bumi berupa buah-buahan, maka warga bergotong-royong menggelar acara bersama dengan mengundang penari Ronggeng.
Ruwatan pada bulan Legeno merupakan hajatan khusus warga dukuh Pedati dan Pomahan (satu kebaon) dengan mengundang (nanggap) penari Ronggeng di rumah kepala dusun setempat. Pentas Ronggeng dimulai pagi hari 7 babak lagu di hutan larangan disertai pemberian sesaji dan pembacaan doa. Setelah Kepala Desa hadir untuk metoni baru pentas dipindah ke rumah Kepala Dusun. Sedangkan bulan Jumadilawal merupakan ruwatan tingkat desa. Prosesinya sama tari ronggeng 7 babak di hutan larangan, menyembelih kambing kendit dan kepalanya dipendam di hutan larangan sedangkan dagingnya dibagikan kepada warga, kemudian malamnya mengadakan pertunjukan wayang. Awalnya pentas di halaman rumah Kepala Desa, tapi sekarang dipindah ke lapangan.
Tradisi ruwatan ini tidak terlepas dari adanya cerita legenda yang bertahan secara turun-temurun. Diceritakan bahwa suatu ketika desa Silurah dilanda pageblug atau wabah penyakit yang menakutkan. Banyak warga menderita penyakit aneh, jika pagi sakit sorenya meninggal. Warga cemas dan berupaya mencari pengobatan kesana-kemari. Suatu hari muncul sepasang suami-istri bernama Ki Gonel dan Ni Gonel yang dengan kesaktiannya dapat melenyapkan pageblug tadi.
Sebagai ekspresi kegembiraan atas lenyapnya pageblug, warga Silurah mengadakan ritual penghormatan kepada leluhur dengan menyembelih seekor kambing kendit, dan kepalanya ditanam di kaki Gunung Ragakusuma. Untuk melengkapi acara, digelar pula pertunjukan wayang dengan “gamelan gaib” yang digunakan untuk mengiringnya yang berasal dari gunung Rogokusumo yang dapat dipinjam asal dengan syarat memberi sesaji terlebih dahulu.
Gamelan tersebut kini sudah tidak diketahui keberadaannya. Karena pada jaman dahulu warga yang meminjam ada yang mengembalikannya terlambat tidak sesuai dengan perjanjian, juga kalau ada yang meminjam tidak merawat sehingga menjadi kotor. Sehingga oleh pemiliknya, perangkat gamelan tidak bisa keluar lagi. Cerita ini juga mengandung pesan moral tentang etika pinjam meminjam. Tradisi tersebut masih dianut sampai sekarang.
Nuansa sakral masih terasa saat prosesi penyembelihan kambing kendit di lereng Gunung Ragakusuma, namun pada saat pementasan wayang nuansa hiburan dan kebersamaan lebih terasa. Bukan hanya warga Silurah yang hadir, warga dari desa-desa sekitarnya juga ikut menyaksikan pertunjukan wayang. Pertunjukan wayang jelas berbeda dari pentas hiburan lainnya.
Dalam pentas wayang jarang dijumpai kasus kekerasan atau perkelahian. Biasanya penonton lebih tertib menghayati lakon yang diperagakan ki dalang. Selain pentas wayang kulit, acara Ruwat Bumi juga dimeriahkan dengan pementasan tari Ronggeng tradisional di lereng gunung Ragakusuma yang diperankan penari wanita profesional, disertai oleh sekelompok musisi memainkan alat musik khas yakni rebab dan gong. Seperangkat gamelan tersebut digunakan sebagai pengiring nyanyian atau kawih pengiring.
Seperli biasa, penari perempuan mengundang beberapa penonton laki-laki atau klien untuk menari dengan mereka sebagai pasangan dengan memberi uang tips untuk penari wanita, diberikan selama atau setelah tarian. Dalam ruwatan ini Kepala Desa diberi kesempatan untuk metoni dan setelah itu tempat pertunjukan dipindah ke dukuh Simangli. Penari dilengkapi dengan sebuah selendang yang digunakan untuk “menggaet” lawan (biasanya laki-laki) untuk menari bersama dengan cara mengalungkan ke lehernya.
Ronggeng Gunung bagi masyarakat Silurah bukan hanya merupakan sarana hiburan semata, tetapi juga digunakan sebagai pengantar upacara adat seperti Ruwat Bumi. Mengingat fungsinya yang demikian, maka sebelum pertunjukan dimulai, diadakan sesajen untuk persembahan kepada para leluhur dan roh-roh yang ada di sekitar tempat digelarnya tarian, agar pertunjukan berjalan dengan lancar. Bentuk sesajennya terdiri atas kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna, pisang emas, sebuah cermin, sisir, dan sering pula ditemukan rokok sebagai pelengkap sesaji.
Makna Ruwatan Ruwat Bumi merupakan tradisi warisan leluhur yang dipertahankan dari generasi ke generasi. Tradisi ini bagi masyarakat penganut kepercayaan tertentu dianggap sebagai sarana dapatkan keselamatan agar orang terbebas dari segala macam kesialan hidup dan nasib buruk. Bagi yang percaya, ruwatan adalah sebuah upaya membersihkan diri dari sengkala dan sukerta (dosa dan sial) akibat perbuatan jahat diri sendiri, orang lain maupun akibat gangguan mahluk halus.
Ruwatan yang paling terkenal sejak zaman kuno diselenggarakan oleh nenek moyang adalah ruwatan murwakala. Dalam ruwatan ini dipergelarkan wayang kulit dengan cerita Murwakala, dimana orang-orang yang termasuk kategori sengkolo-sukerto diruwat atau disucikan supaya terbebas dari hukuman Betara Kala. Disebut Ruwat Bumi karena dilakukan untuk skala desa atau wilayah yang lebih luas.
Pagelaran wayang biasanya dilakukan pada malam hari dan bersifat sakral, bukan seperti pagelaran wayang dengan motif hiburan. Pemeran wayang juga bukan dalang sembarangan, tetapi dipilih dalang khusus yang mumpuni di bidang ruwatan dan kuat secara batin. Ruwat bumi dianggap ritual besar dan berat dan membutuhkan ragam sesaji yang harus lengkap. Dalangnya yang kuat secara batin cukup ilmu spiritualnya. Konon jika tidak kuat resikonya adalah muntah darah atau bahkan mati karena tidak kuat saat Bethara Kala hadir dan merasuk ke dalam diri ki dalang.
Seiring perkembangan zaman, bukan tidak mungkin sebuah tradisi akan mengalami pergeseran makna, bentuk maupun istilahnya, sejalan dengan perubahan pola pikir masyarakat. Pakar kebudayaan asal Belanda, Prof. Dr. C.A.Van Peursen meyatakan bahwa tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tetapi tradisi tersebut bukan sesuatu yang tak dapat diubah-ubah. Tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia.
Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu. Ia menerimanya, menolak atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan-perubahan: riwayat-riwayat manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada.
Konservasi Tradisional Tradisi menjaga Gunung Ragakusuma oleh masyarakat Silurah dalam pemahaman modern dapat dipersepsikan sebagai praktik konservasi tradisional. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengetahuan asli masyarakat setempat. Berdasarkan pengetahuan asli itulah masyarakat mempraktekkan norma-norma konservasi. Ada juga yang menyebut lebih sederhana bahwa praktik menjaga Gunung Ragakusuma diibaratkan sebagai “Perda” atau Perdes” di jaman sekarang.
Sayang, istilah konservasi tradisional belum banyak diuraikan secara jelas, meskipun telah lama menjadi obyek studi antropologi. Konservasi tradisional pada dasarnya merupakan suatu sistem pengetahuan yang diperoleh dari interaksi manusia dengan lingkungan serta seluruh aspek kebudayaan. Sistem ini merupakan rangkaian pengalaman manusia, termasud bahasa, sejarah, seni, politik, ekonomi, administrasi, psikologi serta aspek-aspek teknis lainnya seperti perikanan, pertanian, kesehatan, pengelolaan sumberdaya alam dan sebagainya. Sistem ini menjadi basis untuk pengambilan keputusan dan menjadi substansi pendidikan pada masyarakat tradisional.
Dengan demikian konservasi tradisional meliputi semua upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat tradisional baik secara langsung ataupun tidak langsung, telah mempraktikkan kaidah-kaidah konservasi dalam pengelolaan sumberdaya alam guna kelestarian pemanfaatannya.
Praktik-praktik tersebut umumnya merupakan warisan nenek moyang mereka, yang bersumber dari pengalaman hidup yang selaras dengan alam. Praktik-praktik pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat tradisonal yang memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian tersebut kemudian dikenal sebagai kearifan lokal setempat. Sukirno, Pengajar Hukum Adat dan Antropologi Hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, berpandangan bahwa dalam masyarakat tradisional hal-hal seperti itu terbungkus dalam satu mitos. Tetapi di balik itu sebenarnya ada semangat konservasi untuk menjaga alam karena mereka hidup dari alam. Masyarakat adat atau masyarakat tradisional memperhatikan hutan adat karena mereka sehari-hari hidup tergantung dengan alam.
Alam harus dijaga karena itu merupakan sumber kehidupan mereka. Maka tidak berlebihan jika Gunung Ragakusuma dikatakan sebagai salah satu sumber kearifan lokal yang sampai saat ini masih terpelihara. Hanya saja, nilai-nilai kearifan tersebut dikhawatirkan suatu saat akan hilang akibat salah persepsi. Gejala ini sudah mulai muncul ke permukaan. Sebagaimana diungkapkan Sekretaris Desa Silurah, Tabi’in, yang mencermati adanya sebagian warga yang sudah tidak peduli dengan hutan larangan. Mereka sudah tidak menghargai pesan leluhur dalam bentuk tradisi lisan yang bertujuan menjaga hubungan harmonis dengan alam dengan menjaga hutan.***